Memikirkan Kembali “Ide Antropologi Islam”:
Pembacaan atas Talal Asad
Oleh: Abdul Bar Mursyid
Mahasiswa Studi Islam Pascasarjana UIN Surabaya
Talal Asad disebut-sebut oleh sejumlah akademisi
sebagai antropolog kontemporer paling berpengaruh dalam bidang antropologi
Islam. Signifikansi pengaruh pemikiran Asad terletak pada konsep baru yang ia
tawarkan tentang agama sebagai “tradisi diskursif”.
Konsep tersebut diperkenalkan oleh Asad pertama kali
lewat artikel monumentalnya “The Idea of An Anthropology of Islam” pada tahun
1986 dan menjadi semacam cara pandang alternatif di tengah kemapanan arus
pemikiran maenstream antropolog dan orientalisme tentang masyarakat
Islam saat itu.
Entri ini akan mencoba mendiskusikan pemikiran Asad
dalam karyanya tersebut. Apa yang menjadi basis metodologi teorinya sehingga ia
bisa sampai pada kesimpulan tentang agama sebagai tradisi diskursif.
Kritik terhadap paradigma dominan
Asad memulai menulis artikelnya dengan mengajukan
kritik terhadap cara antropolog dan orientalisme mengkonseptualisasikan Islam
sebagai objek studi antropologi. Menurutnya, selama ini paradigma yang mereka
tawarkan terlihat kurang memadai karena cenderung mengabaikan aspek kompleks
yang terdapat dalam komunitas Muslim. Di sini, ia mereduksi tawaran paradigma mereka menjadi tiga perspektif:
1) Bahwa pada
kesimpulan akhir, Islam bukanlah sebuah konsep yang bisa dianalisis secara
teoritis
2) Bahwa
Islam adalah label antropolog terhadap kumpulan unit yang heterogen, yang
masing-masing telah diberi label “Islami” oleh para informan (pemeluknya)
3) Bahwa
Islam merupakan suatu totalitas sejarah khas yang mengatur berbagai aspek
kehidupan masyarakat.
Asad tidak sepakat terhadap ketiga paradigma tersebut,
terutama paradigma pertama dan kedua, namun ia menganggap paradigma yang ketiga
masih penting untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Menyangkut paradigma pertama, Asad mengkritik logika universalisme
Levi-Straussian yang dipakai oleh Abu Hamid El
Zein saat menulis artikel yang bertajuk "Beyond Ideology and Theology: The
Search for the Anthropology of Islam”. El-Zein termasuk antropolog yang
terinspirasi dengan ide Levi-Strauss tentang struktur bawah sadar manusia yang
mendasari variasi budaya. Dengan kata lain, di balik perbedaan yang tampak di
permukaan, El-Zein percaya bahwa ada pola-pola atau struktur dasar di bawah
alam bawah sadar setiap individu Muslim yang mempengaruhi praktek dan ragam
ekspresi Islam di masyarakat.
Berangkat dari logika
itu, El-Zein kemudian menulis kalimat terakhir di kesimpulan artikelnya: “Islam
sebagai sebuah kategori analitis juga akan lenyap”. Sebab, dia meyakini bahwa
konsep Islam itu tidak benar-benar berdiri sendiri (otonom), tetapi juga turut
disumbang oleh logika budaya (makna dan standar keberanan yang berbeda). Karena
itu, bagi El-Zein, meletakkan Islam sebagai kategori analitis tunggal sama saja
dengan memisahkannya dari realitas budaya itu sendiri yang bergerak dinamis dan
selalu berubah.
Asad keberatan dan
menyangkal kesimpulan yang dibuat oleh El-Zein dengan mengatakan: “jika Islam
bukan sebuah kategori analitis, mengapa ada antropologi Islam?”. Kenyataan
bahwa agama Islam itu ada, dengan terdapat orang-orang, komunitas, dan
negara-negara Muslim di berbagai belahan dunia, setidaknya cukup bagi Asad
untuk membuktikan bahwa konsep Islam sebagai kategori analitis tidak bisa
dihilangkan atau lenyap begitu saja dalam wacana ilmiah. Islam sebagai sebuah
konsep maupun kategori analitis memang harus diletakkan secara berbeda dan
tunggal dari konsep tentang agama lain, kendati dalam pembentukannya juga tidak
dipisahkan oleh logika budaya yang ada.
Paradigma kedua pun juga
tak luput dari komentar Asad. Salah satu penganut sudut pandang ini adalah
antropolog Barat Michael Gilsenan. Dalam bukunya “Recognizing Islam”, ia
menekankan bahwa penting bagi para antropolog untuk tidak mengecualikan beragam
bentuk Islam dengan alasan bahwa itu bukanlah Islam yang sebenarnya. Bagi Asad,
saran dari Gilsenan tersebut memang tampak masuk akal secara sosiologis, namun
tidak cukup membantu dalam mengindentifikasi Islam sebagai objek kajian
analisis. Sebab, kenyataanya umat Islam sendirilah yang terkadang mengatakan
bahwa apa yang dianggap Islam oleh orang lain bukanlah Islam yang sebenarnya.
Paradoks ini tidak bisa
diselesaikan jika para antropolog hanya menerima semua klaim tentang apa itu
Islam yang sebenarnya berdasarkan keyakinan dan praktik informan itu sendiri.
Sebab, menurut Asad, rasanya sulit bagi antropolog untuk mendefinisikan tentang
keyakinan dan praktik yang dianggap “benar” dalam konteks subyek yang
terisolasi. Antropolog harus bisa melihat keluar, dimana terdapat hubungan
sosial yang juga turut menopang interpretasi seorang Muslim terhadap
keyakinannya sendiri dan keyakinannya terhadap Muslim yang lain.
Selanjutnya mengenai
komentar Asad terhadap paradigma ketiga. Perlakuan Asad terhadap paradigma ini
bisa dibilang sedikit berbeda. Kendati ia menemukan kesalahan logika berpikir
di dalamnya, namun Asad menganggap paradigma ketiga masih lebih unggul ketimbang
dua paradigma sebelumnya. Problem utama dalam paradigma ini menurut Asad
terletak pada pemahaman bias pemikirnya dalam menyajikan model antropologi
Islam lewat narasi sejarah. Bias yang dimaksud oleh Asad itu terdapat dalam
buku “Muslim Societies”, salah satu karya yang dinilai cukup ambisius dari
seorang antropolog Barat terkemuka Ernest Gellner.
Model antropologi Islam
di dalam karya tersebut disajikan secara berbeda, di mana struktur sosial,
keyakinan agama, dan perilaku politik berinteraksi satu sama lain dalam
totalitas sejarah Islam. Barangkali ini yang menjadi alasan Asad mengapa model
pembacaan antropologi Islam milik Gellner layak mendapat apresiasi dan
dipertimbangkan lebih lanjut. Kendati demikian, Asad tetap tak mengurungkan
niatnya untuk melakukan critical thinking.
Setelah ia membaca teks
Gellner secara teliti dan cermat, Asad menilai bahwa Gellner tampaknya masih
belum bisa melepaskan diri sepenuhnya dari wacana skeptis orientalisme terhadap
Islam. Skeptisisme itu bisa dilihat dari narasi Gellner saat menyajikan perbandingan
eksplisit antara Islam dan Kristen dalam kalimat
pengantar bukunya. Ia cenderung meletakkan kedua agama tersebut
secara terpisah dan berdiri sendiri sebagai bagian dari konfigurasi sejarah dan
kekuasaan yang berbeda, yang satu berada di Timur Tengah sementara satu lainnya
berada di Barat. Tetapi perbedaan yang paling utama bagi Gellner adalah tentang
hubungan kekuasaan dan agama. Gellner menilai bahwa penggunaan kekuasaan
politik untuk tujuan keagamaan dalam sejarah Kristen tidak terlalu siginfikan
ketimbang yang terjadi pada sejarah Islam.
Bagi Asad, pandangan
Gellner tersebut terbuka lebar untuk dikritik. Ia menilai bahwa perbedaan
antara Islam dan Kristen yang dibuat oleh Gellner terlihat kabur dan
menyesatkan. Pertama, Gellner mengabaikan fakta tentang eksistensi kaum Kristen
Timur dan Yahudi Separdhic yang hidup di Timur Tengah pada abad pertengahan. Jadi, sejak
awal mereka telah menjadi bagian integral dari sejarah panjang Islam itu
sendiri.
Kedua, Gellner juga
mengaburkan fakta tentang penggunaan kekuasaan politik yang juga pernah terjadi
dalam sejarah Kristen, bahkan sejak zaman Konstantinus. Pada saat itu,
penggunaan kekuasaan tak kurang masifnya, mulai dari raja Kristen sampai
aparatur gerejawi sama-sama berupaya untuk menciptakan kondisi sosial dan
kehidupan masyarakat secara Kristiani. Jadi, tidak berlebihan jika Asad
mengatakan bahwa cara Gellner mengonseptualisasikan Islam bisa dibilang sangat
kabur dan menyesatkan. Sebab, ia sendiri masih tak bisa melepaskan diri dari
cengkeraman pemikiran mapan para orientalisme.
Agama sebagai
“tradisi diskursif”: sebuah tawaran metodologis
Sekarang kita sampai pada pembahasan tentang terobosan
baru yang ditawarkan oleh Asad dalam diskursus antropologi Islam. Dari
pembahasan sebelumnya, kita tahu bahwa Asad telah berupaya melakukan
kerja-kerja kesarjanaan. Ia mampu melihat kelemahan logika berpikir dari para
sarjana antropolog dan orientalisme saat mengkonseptualisasikan Islam, sembari
mengajukan kritik.
Tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah Asad
mampu melaju ke dalam tahap yang sedikit lebih maju: ia tak sekedar mengeritik
tetapi juga melakukan rethinking dengan mengajukan konsep baru tentang
agama sebagai “tradisi diskursif”. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa
itu tradisi dikursif? lalu segera disusul oleh pertanyaan berikutnya: mengapa
Asad mengintegrasikan konsep tersebut ke dalam diskursus antropologi Islam?.
Asad menyatakan jika seseorang ingin menulis ide
tentang antropologi Islam, maka ia harus memluainya seperti yang dilakukan oleh
umat Islam itu sendiri. Dimana terdapat konsep tradisi diskursif yang berlaku
didalamnya, yang menghubungkan mereka dengan teks-teks kitab sucinya (Al-Qur’an
dan Hadits). Dengan kata lain, Islam bukanlah struktur sosial yang
khas atau kumpulan kepercayaan, artefak, adat istiadat, dan moral yang
heterogen, melainkan adalah sebuah tradisi.
Sebuah
tradisi pada dasarnya terdiri dari wacana-wacana yang berupaya memberi petunjuk
kepada para pelakunya mengenai bentuk dan tujuan yang benar dari suatu praktik
tertentu. Justru karena praktik tersebut kini telah mapan, maka ia mempunyai
sejarah.
Wacana-wacana
ini secara konseptual berhubungan dengan masa lalu (saat praktik tersebut
dimulai: dari mana pengetahuan tentang tujuan praktik tersebut datang) dan masa
depan (bagaimana tujuan praktik tersebut dapat dicapai dengan baik dalam jangka
pendek atau jangka panjang, atau mengapa hal tersebut harus diubah atau
ditinggalkan), melalui masa kini (bagaimana hal tersebut dikaitkan dengan
praktik, institusi, dan kondisi sosial lainnya).
Oleh
karena itu, menurut Asad, permulaan teoretis yang tepat bagi para antropolog
saat mengkonseptualisasikan Islam adalah dengan berfokus pada praktik yang
dilembagakan (ditempatkan dalam konteks tertentu dan memiliki sejarah
tertentu). Jadi, suatu amalan bisa disebut “Islami” hanya jika itu telah
dibolehkan oleh tradisi diskursif Islam dan diajarkan kepada umat Islam – baik
oleh seorang 'alim, seorang khatib, atau seorang syekh sufi. Sekilas cara kerja
tradisi diskursif Islam ini memang tampak mirip dengan cara kerja ortodhoksi
dalam Islam. Tetapi Asad disini memberikan garis demarkasi yang tebal – bahwa
ortodhoksi bukan sekedar sebuah doktrin khusus yang berada di “jantung Islam”
tetapi lebih kepada hubungan khas antara kekuasaan dan kebenaran.
Dimanapun
umat Islam memakai kekuasan untuk mengatur dan mengarahkan praktik-praktik
Islam yang benar atau mengecualikan dan mengganti praktik-praktik Islam yang
salah, disitulah wilayah orthodoksi bekerja. Cara kekuasaan ini dijalankan -
lewat kondisi apa (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain) dan perlawanan yang
mereka hadapi (dari umat Islam dan non-Muslim) - semestinya harus menjadi
perhatian dalam antropologi Islam, terlepas dari apakah objek penelitian
langsungnya berada di kota atau di pedesaan, pada masa kini atau masa lalu.
Oleh karena itu, menurut Asad, perdebatan dan konflik mengenai bentuk dan
pentingnya praktik sebaiknya tak perlu diperpanjang. Sebab, ia merupakan bagian
alamiah dari tradisi Islam itu sendiri di wilayah mana
pun dalam beragam versi.
Dari sini kita bisa tau mengapa Asad sangat menekankan
pentingnya konsep tradisi diskursif untuk dipakai dan diintegrasikan oleh para
antropolog saat mempelajari masyarakat Islam. Sebab, setiap bentuk praktik,
keyakinan, dan interpretasi umat Islam terhadap kitab sucinya tak lain adalah
bagian dari tradisi diskursif itu sendiri. Tanpa itu, antropolog akan kesulitan
dalam mengkonseptualisasikan Islam secara objektif sebagai objek analitis
penelitian antropologi.